shio to peppaa

Do not count your blessings; substract them.

Apa Kabar Sekolah Dasar Negeri?


Bismillahirrahmanirrahim,

Bingung mulai menulis dari mana. Sudah sejak kapan saya sebenarnya ingin berbagi cerita. Tauk-tauk udah setengah tahun aja nih mencicipi kembali hidup di Tanah Air.

Berawal dari kepulangan saya setelah tinggal lebih dari 5 tahun di Tokyo, kebingungan standar para orangtua beranak sekolah seperti kami ini adalah mencari sekolah di Tanah Air. Sekolah negeri di Jepang sudah sebegitu standarnya sehingga kita tidak perlu pusing-pusing memilih. Kondisinya ternyata amat sangat berbeda dengan di Tanah Air. Tidak perlu sampai ke swasta, bahkan SD Negeri sendiri pun sudah macam-macam bentuknya sekarang.

Singkat cerita, kami menyimpulkan bahwa ada 3 jenis sekolah yang kami temukan di Bandung: sekolah negeri, sekolah swasta, sekolah alam (swasta juga sih sebenernya :D). 3 bulan sebelum kepulangan kami, kami mencoba menghubungi sekolah-sekolah tersebut untuk menanyakan apakah anak kami (8 tahun) boleh sit in, mencoba duduk di kelas barang 2-3 hari. Ternyata hanya sekolah alam yang memperbolehkannya.

Ok, mari sekarang kita bahas sekolah alam. 3 bulan sebelum kepulangan kami, Awal, anak sulung kami, ijin seminggu dari sekolahnya di Tokyo dan terbang ke Bandung untuk sit in 3 hari di sekolah alam. Hasilnya? Kekecewaan yang kami dapatkan akibat ketidakprofesionalan pihak sekolah. Kesalahannya “hanya” satu sih, tidak berinisiatif meminta ma’af pada saat “kecelakaan” terjadi pada anak saya di hari ke-3 (terakhir) sit inWell, sejujurnya ada satu alasan lagi sih, lokasinya jauh dari tempat tinggal kami (walaupun dekat dari rumah orangtua kami), kurang lebih 3 jam pulang-pergi kalau memakai layanan antar-jemput. Oh ya, perlu dicatat, sebenarnya kami sangat senang dengan kurikulum sekolah alam dan anak saya pun suka. Ngomong-ngomong soal sekolah alam, saya jadi ingat untuk menyalin reportase suami soal sekolah alam ini dari facebook. Next post, insya Allah.

Selanjutnya sekolah swasta. Di dalam kompleks perumahan kami, ada satu sekolah swasta Islam Internasional. Pelajarannya banyak sekali, jam sekolahnya panjang, dan biaya sekolahnya mahal sekali, apalagi untuk ukuran CPNS (SPPnya lebih dari setengah gaji suami :O). Walaupun kata suami kalau masalah uang bisa dicari, tetapi akhirnya kami tidak memasukkan anak kami kesana juga. Alasan utamanya sih khawatir anak kami syok. Pelajaran yang padat dengan bahasa pengantar utama bahasa Inggirs, duh. Saya belum pernah sama sekali mengajarkan anak saya bahasa Inggris. Umur 3 tahun kami memboyong anak ke Tokyo, jadi kami harus mengajarinya bahasa Indonesianya terlebih dahulu, setelah itu harus masuk sekolah lokal yang full bahasa Jepang, ditambah lagi mengaji dengan menggunakan karakter arab. Jadilah bahasa Inggris tidak menjadi prioritas kami untuk diajarkan kepada anak. Anyway, actually, this school looks sooo perfect. Ya mungkin lain kali, semoga, tahun ini tidak dulu 🙂

Akhirnya kami memutuskan untuk mencari sekolah yang paling cepat pulang saja. Ya minimal 1 tahun lah untuk memberi ruang dan waktu anak saya beradaptasi. Thanks to Google Map, kami menemukan SD Negeri yang berjarak kira-kira 1,5 km dari tempat tinggal kami. Kira-kira 10-15 menit dengan menggunakan sepeda. Sebagai informasi, kompleks perumahan kami ini dibangun di atas tanah yang dulunya adalah beberapa perkampungan. Tidak semua bisa dibeli oleh perusahaan pembuat kompleks raksasa ini, jadi masih ada beberapa jalan kecil yang menghubungkan kompleks ke satu dua (sisa) perkampungan. Penduduk kampung yang “tersisa” keliatannya sebagian besar dipekerjakan oleh perusahaan pemilik kompleks untuk bekerja sebagai tukang bangunan, pemelihara taman, dan sebagainya. Banyak juga yang bekerja di rumah-rumah kosong di kompleks yang belum dihuni pemiliknya. Singkat cerita, jadilah sedikit banyak saya mengetahui bagaimana kehidupan di perkampungan, bukan hanya dengar cerita orang atau dari buku saja. Pernah sepulang sekolah anak sulung saya cerita, hari itu pelajaran IPS mengenai pekerjaan orangtua. Teman-teman sekelasnya diminta menyebutkan pekerjaan orangtuanya, dan pekerjaan-pekerjaan yang muncul adalah buruh tani, tukang sayur, satpam, penjaga taman, kuli bangunan, dan sejenisnya. Jadi kira-kira terbayang kan ya tingkat ekonominya seperti apa.

Bersekolah di SD Negeri ternyata gratis ya sekarang? Tapi sepertinya tidak berlaku untuk SD Negeri “favorit”. Berdasarkan informasi dari bisik-bisik tetangga :p, beberapa SD Negeri “favorit” menganut sistem “wani piro??!” 😦 Balik lagi ke SD Negeri non favorit :p yang ada di belakang kompleks, uang yang dikeluarkan untuk sekolah hanya seragam olahraga (kaos lengan panjang dan celana panjang) dan baju atasan batik, total seharga 135 ribu. Sudah itu saja. Seragam standar putih merah dan pramuka harus dibeli sendiri di luar sekolah. Buku disediakan semuanya dari sekolah. Tapi ya untuk di sekolah saja sih, tidak untuk dibawa ke rumah. Kalau ingin punya juga di rumah, ya harus cari sendiri. Saya sempat cari di Palasari dan menemukannya beberapa. Sisanya tinggal cari di internet dan print. Berhubung semua bukunya adalah keluarannya BSE, jadi ya tersedia semua di situsnya Kemdikbud.

Selanjutnya, perpustakaan. Lumayan banyak bukunya, walaupun ya buku teks semua sih ya, dan keliatan masih baru semua (berarti gak dibaca .. hiks). Buku-buku itu kebanyakan sumbangan dari perusahaan kompleks kata salah satu guru. Tapi ya gitu, tidak ada pustakawan/pustakawati yang khusus menunggui perpustakaan. Jadi saya lebih sering melihat perpustakaannya digembok ketimbang dibuka. Malah, alih-alih digunakan untuk tempat membaca buku, ruang perpustakaan yang relatif luas itu malah digunakan untuk olahraga :p Sebenarnya saya sempat menawarkan diri menjadi pustakawati kepada wali kelas anak sulung saya, tapi katanya harus tanya kepala sekolah. Akhirnya saya coba ngobrol dengan kepala sekolahnya, hmmmm … what should I say … euweh kahayang kalo kata orang Sunda sih. Tidak ada keinginan sama sekali. Mati segan hidup tak mau gitu deh. Mereka cenderung defensif sih. Itu saya bahkan belum sempat mengutarakan keinginan saya untuk membantu mereka menjaga perpustakaan. Defensif dalam artian mereka terlihat gengsi, jadi ingin menunjukkan kalau sebenarnya ada lohhh kegiatan perpustakaan itu. Ya gitu deh .. susah juga ya ternyata menjelaskan dengan tulisan 😦 Hmmm … pikir-pikir, diskusi dengan suami, dengan teman, akhirnya saya batalkan untuk “memaksa” menghidupkan perpustakaan. Khawatir dianggap menggurui. Orang baru juga!

Akhirnya terfikir cara lain untuk tetap berbuat sesuatu sih, sedikittttt, tapi ya lumayan lah dari pada gak sama sekali. Minimal bisa mengurangi sedikit rasa bersalah saya karena rasanya tak berdaya melakukan apa-apa. Saya minta ijin ke wali kelas anak sulung saya untuk boleh memakai ruang kelasnya setiap hari Sabtu pukul 07:00-07:20 untuk membacakan buku (story telling). Alhamdulillah diijinkan. Oh iya, SDN hari sekolahnya dari Senin sampai Sabtu, dari pukul 07:30 hingga 11:30. Kecuali Jum’at, hanya sampai 11:30, Sabtu hingga pukul 12:00 karena ada pramuka, dan Senin masuk pukul 07:00 karena ada upacara bendera. Alhamdulillah, 3x upacara, anak sulung saya sekarang sudah hapal sila-sila Pancasila *bangga 😀

Balik lagi ke story telling tadi, alhamdulillah anak-anak gak ada yang ketiduran sih .. hahaha .. malah anak-anak dari kelas lain juga ikutan bergabung. Nah, sesekali waktu saya pernah menggantinya dengan membuat anak saya presentasi cara membuat origami shuriken. Baru berjalan 2 bulanan, semoga bisa konsisten dan makin bervariasi kegiatannya, aamiin.

Selanjutnya, toilet! Kaget sekali ketika saya mendapati bahwa tidak ada toilet di SD :O Anak-anak yang bersekolah disitu memang rumahnya dekat-dekat sih, jadi bisa pulang kapan saja mereka mau. Jadi kalau harus buang air, ya pulang ke rumah (duh). Lah, bagaimana dengan anak saya?? Beberapa waktu lalu orangtua murid sempat dimintai sumbangan untuk membangun toilet. Saya waktu itu tidak bisa ikut rapatnya karena harus ke luar kota (hiks). Oh ya, tapi yang lebih kagetnya lagi adalah karena ternyata ada toilet, tapi di ruang guru. Kata gurunya, dulu sih bercampur dengan anak-anak, tapi yang kecil-kecil banyak yang belom bisa pipis di toilet, jadi pada kemana-mana jadi bauk dan kotor, malu kalau ada orang dinas datang. Heeeee …. gubrak deh. Yang saya tidak habis pikir, lalu kenapa bukan guru-guru saja yang saling mengumpulkan uang untuk membangun toilet khusus untuk mereka sendiri. Kok bukannya anak-anaknya diajari bagaimana menggunakan toilet supaya tetap bersih. Ya begitulah …

Lanjutt .. Bagaimana dengan presensi guru? Awal-awal saya tidak menghitung, kurang kerjaan amat, hehe. Ternyata kok rasanya sering sekali anak saya lapor kalau wali kelasnya tidak masuk karena sakit. Akhirnya saya mulai menghitung sejak bulan September. Kesimpulannya, bulan September 3 kali absen, Oktober 3 kali absen. Ketiadaan guru ini bukan hanya pada saat guru tidak masuk ke sekolah, pun pada saat hadir di sekolah, ketersediaannya di kelas juga minim sekali. Laporan anak saya, biasanya wali kelasnya hanya menyuruh anak-anak menyalin buku atau mengerjakan soal. Kalau istilahnya salah satu teman saya, CBSA: Catat Buku Sampai Abesss :p. Yang lebih parahnya adalah setelah meyuruh anak-anak, sang guru meninggalkan kelas dan biasanya duduk di kantor guru saja sambil “maen” telpon genggamnya. Tapi untungnya tidak semua guru seperti itu, ada satu guru di kelas yang lebih atas yang saya lihat sangat berdedikasi. Bahkan beliau seperti menjadi “tumbal” untuk menggantikan guru-guru yang tidak masuk. Pernah satu kali saya lihat (oh ya, saya sering sidak nih ngomong-ngomong, jadi banyak cerita :p) di hari Sabtu, guru di 3 kelas tidak masuk semua karena sakit (katanya). Jadilah beliau sibuk keluar masuk kelas untuk menggantikan guru-guru yang sakit tadi, padahal beliau sendiri juga punya amanah satu kelas sendiri. Berarti 4 kelas beliau pegang dalam satu waktu. Duh.

Rrrrr … daritadi kok yang jelek-jelek aja ya yang diceritain? Tenanggg .. tetap ada yang bagusnya kok, tenang aja .. mending yang pahit-pahitnya dulu kan? 😉

Beberapa hal bagus yang masih bisa saya lihat di SDN ini adalah anak-anaknya masih relatif sopan dalam berbicara. Misalnya, alih-alih memakai kata “aing” yang berarti saya dalam bahasa Sunda kasar, mereka kebanyakan memakai kata “abdi” atau sejelek-jeleknya “urang”. Yang ini adalah reportase dari anak saya 😀

Hal positif kedua, anak saya bersemangat sekali belajar bahasa lokal, Basa Sunda. Setiap hari ada saja kosa kata Sunda yang ditanyakan kepada saya. Minimal 5 kosa kata per hari! Sampai-sampai saya membelikan kamus Basa Sunda – Bahasa Indonesia 😀

Belajar keberagaman. Indonesia, tidak seperti Jepang, amatttt sangat beragam. Anak saya bergaul dengan anak-anak kampung dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah pada saat di sekolah (pagi – siang) dan bergaul dengan anak-anak kompleks dengan tingkat ekonomi menengah ke atas pada saat pulang sekolah (sore). Keberagaman ini semoga menjadikan anak saya lebih bijaksana dalam bersikap, aamiin. Saya juga jadi tidak sulit pada saat memberikan contoh soal kesederhanaan, dan sejenisnya. Anak saya bisa melihat dengan mata kepala sendiri, bisa membandingkan sendiri bagaimana kondisi teman-temannya di sekolah dan di rumah. Semoga pengalaman itu bisa membawanya menjadi manusia yang mudah bersyukur, aamiin. Terus terang bukan hanya anak saya yang belajar, tapi saya juga belajar banyaaaakk sekali. Seringkali saya merasa kesal karena tingkah orang-orang itu, terutama guru yang terkesan tidak ada semangat hidup, tapi lebih sering lagi saya merasa kasihan karena bisa jadi mereka begitu hanya karena ketidaktahuan mereka.

Lebih bugar :p Kenapa? Tiap hari off-road pakai sepeda. Sekali jalan 1,5 km menembus jalanan berbatu dan tanjakan ekstrim (tsahhh :p). Sehari bisa 2 kali jalan, berarti 2 x 1,5 x 2 (PP) = 6 km/hari. Khusus untuk saya yang mengantar jemput, tinggal dikalikan dua lagi!

Pemandangan back to nature. Walaupun banyak rintangan yang kami lalui (ahay), tapi kami juga dihadiahi pemandangan yang sehat setiap hari. Danau (yang terlihat) jernih dan tenang (berarti dalem nih), sawah, hamparan pohon pisang, jagung, padi, dan pohon-pohon lain yang tidak saya kenal :p, belom lagi barisan bebek, ayam, kambing, domba, wahh rame deh pokoknya. Padahal dulu waktu di Tokyo, kami harus ke kebun binatang hanya untuk melihat ayam!  Oh iya, kalau musim kemarau seperti sekarang, danau pun surut dan pemandangannya diganti dengan pemandangan sawah yang luassss dan hijau.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

presentasi shurikenLebih mudah berbagi. Berbagi bisa dimana saja, tentu saja. Tapi bergumul di kondisi masyarakat “bawah”, kalau kita mau, banyaaakk sekali yang bisa kita bagi. Gak usah jauh-jauh, buang sampah saja contohnya. Anak saya selalu membawa pulang sampah makanannya, harusnya banyak yang merhatiin, dan semoga mereka bisa belajar. Contoh lain, keterampilan melipat kertas. Anak sulung saya ini maniak sekali origami. Setiap jam istirahat, sering sekali diminta teman-temannya untuk mengajari bagaimana caranya membuat bentuk origami tertentu. Selain memberi, sebenarnya anak saya juga diberi, diberi ilmu untuk berlatih mengajar. Orang pintar banyak, tapi yang bisa mengajar tidak banyak. Walaupun resiko tentu saja ada, bisa jadi malah anak kita yang terbawa kebiasaan mereka yang kurang baik, misalnya. Itu tugasnya orang tua di rumah, mengusahakan anak untuk tetap berada di jalurnya. Ganbarimasu!

Anti kemapanan. Halah, apa istilahnya yang cocok yak. Beberapa bulan terakhir ini saya masuk ke grup Whatsapp teman-teman kuliah seangkatan saya. Sering sekali kami membahas soal anak, salah satunya tentang problematika (ciee) sekolah. Masalah-masalah kemapanan seperti anak yang meminta telpon genggam seperti si X, menanyakan kapan jalan-jalan ke luar negeri seperti si Y, dst, dst. Tentu saja masalah ini jauh sekali dari anak kami, wkwkwkwk. Entah kenapa saya merasa itu sebagai salah satu hal yang patut disyukuri 😀

Selanjutnya, mendadak seleb! Wkwkwkwk. Awal kepindahan kami dari Tokyo, saya sempat khawatir teman-teman di sekolah anak saya bakal menganggap anak saya sombong. Kenapa? Anak sulung saya ini orangnya super cuek. Kalau tidak akrab, jangan harap mendapatkan senyuman dari bocah ini. Ditanya pun biasanya hanya menunduk lalu menjawab pelan-pelan. Lempeng gitu deh … Banyak yang bilang cool, tapi ya beda-beda tipis dengan gak pede, hehehe .. Tapi ternyata berbekal gaya yang polos-polos gimanaaa gitu, malah menjadikan teman-temannya di sekolah kampung itu tidak canggung. Gap antara orang-orang yang tinggal di perkampungan dengan di kompleks sangat-sangat besar, padahal sebelahan .. biasanya kondisi ini membuat kedua belah pihak canggung berhubungan. Alih-alih dicuekin sama teman-temannya, anak saya malah seolah-olah seperti selebritis yang selalu disambut ketika saya antar dan di-dadah-dadah-i ketika saya jemput pulang :)))) Anak sayanya mah seperti biasa lempeng aja tanpa ekspresi, tapi tidak mengurangi semangat anak-anak itu untuk memanggil-manggil nama anak saya sepanjang jalan pulang .. wkwkwkwk.

Ya begitulah adanya, semoga semakin hari semakin banyak hikmah yang bisa dipetik, aamiin.

Wallahu a’lam bissawab; dan Allah lebih mengetahui yang sebenar-benarnya.

About sellymeliana

Ibu rumah tangga dengan satu suami dan tiga anak :D

47 comments on “Apa Kabar Sekolah Dasar Negeri?

  1. punyahannawilbur
    2 November 2013

    Wow, rumit juga, ya :). Alhmdlh akhirnya dapet. Semoga lancar dan sukses ^_^

    • sellymeliana
      2 November 2013

      Hahaha, semoga gak jadi puyeng setelah baca coretan saya yaa 😀 😀
      Aamiin 🙂

  2. bunda aisykha
    2 November 2013

    aku sangat mengapresiasi pilihanmu memasukkan buah hatimu ke sekolah negeri mak,,yaa,,emang bgitulah,,hi hi,,sekolah negri di daerahku jg bgitu,,tp udh ada toiletnya kok mak he he,,mskipun banyak yg tdk terawat he he,,tp nyatanya msh bnyk kelebihannya kn mak,,

    • sellymeliana
      2 November 2013

      Terima kasih apresiasinya, Bunda 🙂
      Wkwkwkwk, iya nih .. agak-agak nih emang soal toilet. Cerita dong sekali-kali tentang kelebihannya 🙂 Soalnya saya dulu waktu baru akan pulang ke Tanah Air, susaaahhh sekali mencari testimoni orang tua soal SD Negeri.

  3. diannie
    2 November 2013

    Salam kenal, Mbak Selly. Sy sdh lama nggak begitu peduli masalah sekolah favorit dan non favorit. IMHO, kesuksesan seseorg tidak bergantung dari sekolahnya, tapi, dari usaha dan doa yg istiqamah. Mknya, sy santai2 aja menyekolahkan anak di sekolah yg tergolong bkn favorit. Sekolah anak sy yg skrg jg bkn favorit (SMU swasta yg ada dibawah yayasan milik salah satu ormas Islam tertua di Indonesia). Tapi in syaa Allah masih tergolong bagus. Paling tidak, salah satu alumninya ada yg jd wakil bupati. Yang penting, sbg ortu kita banyak2 membimbing dan memberi motivasi bt anak

    • sellymeliana
      2 November 2013

      Betul! Saya juga baru inget kalau ada yang kelupaan dari tulisan saya di atas, nanti ditambahin deh semoga :p … soal keberadaan ibu di rumah. Saya dan suami berani menjatuhkan pilihan untuk “menjebloskan” buah hati kami ke SDN karena saya full di rumah. Pertimbangannya akan berbeda lagi untuk orang tua yang dua-duanya memilih untuk bekerja di luar rumah.

  4. keren tulisannya… oh ya, selamat datang kembali di tanah air. Salam kenal,ikut komen ya…
    saya juga ibu dengan satu orang putri yang baru melewati rasa bingung untuk menyekolahkan anak dimana. Tapi akhirnya saya pilih untuk menyekolahkan nya di SD IT,kenapa? salah satu alasanya yaitu,karena melihat SD negeri yang ada disini ( daerah Cikarang Utara ) menurut saya engga bgt,disamping kualitas pengajaran gurunya yang kurang,belum lagi ada sisitem beli bangku lah,ngado ultah guru,wajib ikut les dan yang lebih parah lagi anak dapat rangking kalo ada ‘pulus’… meskipun itu katanya tapi kenapa banyak yang bilang?. Tapi Alhamdulillah hal seperti itu belum (dan jangan terjadi lah) di SDN kampung saya ( daerah Padalarang ), guru2 nya masih berdedikasi dan menyampaikan ilmu nya dengan ikhlas tanpa pamrih (Kebetulan wakil kepala sekolah nya adalah kerabat saya)jadi saya tau perkembangannya.
    Kalau boleh saya ngasih saran bu selly jangan ragu2 untuk berbagi ilmu nya di SD itu,menularkan kebiasaan2 positif yang dibawa dari negeri sakura yang terkenal dengan disiplin,ulet dan tepat waktu itu…. Ganbate! ( hehe.. klo ga salah artinya semangat yaa???….)

    • sellymeliana
      2 November 2013

      Terima kasihhhh 🙂 🙂 Salam kenal juga yaa, senangnya dikunjungi 🙂
      Waduhh, males banget kalau SDNnya seperti itu ya. Mungkin kalau di kota banyak yang begitu ya?
      Iyah sihh, pengennya begitu, tapi saya merasa banyak yang harus dijaga juga, khawatir salah langkah nanti malah mengacaukan semuanya. Jadi ini pelan-pelan dulu aja jalannya 🙂 Do’ain yaaaa … haiii, ganbarimasu!

      *ganbatte: berusahalah!
      *ganbarimasu: saya akan berusaha 😉

  5. utami irga
    2 November 2013

    mantap, kebayang deh gimana rasanya..seru ceritanya.. trims berbaginya..
    cuman eta penasaran ada danau , bandungnya dimanah xixi..jangan2 tetanggaan…

    • sellymeliana
      2 November 2013

      Terima kasih kembali, pleasure is all mine, apalagi jadi didatengin teman-teman baru, senangnya 🙂
      Oops, waduh … jangan-jangan .. jangan-jangan … 😀

  6. nyomanselem
    2 November 2013

    Baguuus sekali tulisannya Mak. Dalem gitu… Trims sudah berbagi. Saya belum nyekolahin anak di sekolah negeri, kemarin karena umurnya masih 6th… ternyata, kata temen sekolah negeri yang di pinggiran juga terima aja kok siswa yang kurang dari 7th…

    • sellymeliana
      2 November 2013

      Aduhh, masak sihhh, jadi tersandung ini sayahh 😀
      Terima kasih juga sudah mao membaca sampai tulisannya habis 😀
      Iyah, gak apa-apa mulai SD 7 tahun juga. Kata orang-orang yang ahli pendidikan, malah bagus karena sudah siap dari segi kejiwaan (katanya).
      Tapi terbukti kok ke suami saya. Masuk SDnya cepet .. lulus kuliahnya ya sama aja sama saya :p :p

  7. Ida nur Laila
    2 November 2013

    senaang baca reportase lengkap tentang SD Negri, saya sendiri belum ‘berani’ menyekolahkan anak di SDN dan pilih bikin SD sendiri lantaran banyak pertimbangan. BTW saya selalu saluut dengan meak yang mau ‘berjuang’ untuk membuat SDN lebih ‘tercerahkan’. saluut mak…teruss semangaat.

    • sellymeliana
      2 November 2013

      Waduh Ibuuu .. senangnya kalau bisa bikin SD sendiri. Mimpi saya ituu bikin SD sendiri, kalo bisa gratis lebih bagus lagi …
      Mohon do’anya, semoga energinya tetap ada, tetap konsisten, tetap diluruskan niatnya, aamiin.

  8. Ika Hardiyan Aksari
    2 November 2013

    Salam kenal dari Ika Mak 🙂
    Kebetulan saya ini masih calon gur SD. Membaca tulisan Mak, saya berdoa semoga bisa menjadi guru yang lebih baik lagi.

    • sellymeliana
      2 November 2013

      Salam kenal ibu guru .. oops, aduh ma’af ya kalau ada celotehan saya yang menyinggung guru, ampuunn, tidak bermaksud kesana 😀
      Aamiin, aamiin, semangat ya bu guru. Guru, satu-satunya profesi yang menciptakan segala macam jenis profesi lainnya .. ganbatte kudasai, sensei!

  9. Uniek Kaswarganti
    3 November 2013

    Suka sekali dengan tulisannya Mak. Sebelumnya saya tanya dulu nih tulisan yg ini, kayaknya something missing deh, atau saya yg memang gagap paham ya 😉
    ” Oh iya, SDN hari sekolahnya dari Senin sampai Sabtu, dari pukul 07:30 hingga 11:30. Kecuali Jum’at, hanya sampai 11:30, Sabtu hingga pukul 12:00 karena ada pramuka”
    Jadi yg bener jam sekolahnya Senin mpe Kamisnya jam berapa mak? *maaf, penting banget ini pertanyaannya hihihiii…

    Trus klo mak bilang keputusan menyekolahkan di SDN lebih tepat utk mak yg full di rumah, berarti saya dan suami yg dua2nya bekerja gimana donk hehehee… Just share aja mak, kami berdua memutuskan menyekolahkan si sulung di SDN bukan krn free costnya, tapi lebih pada keberagaman yg bisa ditangkap anak. Kami tinggal di kampung yg setiap hari ada jadwal ngaji di mushola depan rumah, Insya Allah si sulung masih bisa dihandle dari sisi agamisnya. Ada contoh teman kami yg anaknya disekolahkan di SD Islam, selalu bilang kalau yg bukan Islam itu kafir. Rajin bener ngafirin orang tapi dia sendiri suka makan fretciken ala kafir, punya akun fb buatan si kafir, dsb dsb. Dari mana coba anak sekecil itu menangkap ajaran sebegitu rupa, karena kata ortunya mereka gak ngajarin spt itu. Memang sih itu baru satu contoh, tapi kebanyakan tetangga saya yg memompa dana sekuat tenaga utk menyekolahkan anak2nya ke sekolah model gini, kebanyakan memang suka terlalu ‘fanatik’ klo orang awam bilang. Okelah, ibadah kenceng, tahfidz di usia dini, tapi nggak mateng secara sosial. Tidak semua sih, tapi kebanyakan begitu. Dan menurut kami berdua itu sangat sangat tidak sehat untuk si sulung. Terserah kalau orang lain menganggap kami tidak ketat mendidik sisi agamis anak, mereka toh tak tau apa yg kami berdua ajarkan di rumah sepulang kami bekerja 😉

    Hayaahh… malah panjang banget komennya. Intinya itu deh mak. Oya, klo dari sisi kualitas pelajaran memang gak bisa diarepin. Tapi bukannya tugas mendidik anak itu bukan tanggung jawab guru sepenuhnya? Jatah orang tua kan 90 persen, bahkan lebih, iya tak? wkwkwkkk…. enak banget tuh ortu yg pada suka terima beresnya aja ngandelin guru doank *kabur aaahh sblm digetok ortu sejagat

    • sellymeliana
      3 November 2013

      Hahaha … ya gitu, by default Senin sampe Sabtu itu jam 07:00 – 11:30, kecuali hari-hari yang saya sebutkan di atas (tapi ternyata kok banyakan kecualinya yak? wkwkwk).
      Buat ayah bunda yang bekerja di luar rumah, kan saya tulis pertimbangannya beda lagi, bukan berarti gak boleh masuk SDN kookk (ngeles :)))
      Angkat topi lah kalo ayah bundanya bekerja di luar tapi masih “berani” memasukkan anaknya ke SDN. Gak kebayang sebesar apa energinya. Saya aja ini agak ngos-ngosan sebenernya dan memutuskan untuk hanya mengajarkan materi matematika dan bahasa Indonesia saja yang dari buku teks sih. Gak kekejar euy kalo semua pelajaran di sekolah diulang di rumah, cepet bangettt. Jadi pelajaran-pelajaran lain seperti agama, IPS, IPA, PKn, rrr apa lagi ya .. saya gak ngikutin kurikulum sekolah deh, kebutnya masya Allahhh. Dipaksa juga gak akan ngerti anak saya kayaknya.
      Soal sekolah dengan atribut Islam, saya juga pengen bikin tulisan itu tuh, do’akan semangatnya datang, hehehehe.

    • asri
      16 Februari 2015

      Punten mba saya hanya mau mengingatkan, tp mmg orang selain yg beragama Islam itu disebut kafir. Itu sebutan yang tertulis di dalam Al-Quran itu sendiri 🙂 disebutkan di beberapa ayat :
      “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al Bayyinah: 1).

      “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6).

      🙂 semoga Allah memberi taufik dan hidayah..

      • sellymeliana
        14 Juni 2015

        Kalau yang saya tangkap, maksudnya mungkin dengan menyebut-nyebut kafir secara lisan mbak.
        Benar memang, tapi tidak baik. Dan kalau menurut saya juga, tidak perlu.
        Terima kasih ya mbak Asri pencerahannya 🙂 🙂

  10. Diah Utami Lestari
    3 November 2013

    Problematika sekolah di Indonesia ya. Kalau sekolah Indonesia bisa ‘seragam’ dan standar seperti di Jepang, tentu bagus juga. Tapi ketika kita (aduuh… maaf-maaf) belum bisa mengandalkan pemerintah untuk menyediakan sistem pendidikan yang baku dan bagus, tentu pihak swasta berinisiatif. Ketika jatuhnya jadi mahal, hmm… saya nggak bisa bilang banyak. Bukan saya sih yang bikin sekolah. Haha…
    Mbak Selly seru juga nih, jadi narasumber mbacain cerita di sekolahnya Awal. Erai desu ne…

    • sellymeliana
      3 November 2013

      Eh ada Miss Diah, keluar juga nih guru SD swasta .. ampun Buuu .. hihihi.
      Nahh, kalo guru-gurunya seberdedikasi Miss Diah ini, sepertinya saya bisa nyantei dikit di rumah, wkwkwk.

      Sebenarnya saya pengen juga memasukkan anak ke sekolah dimana saya tidak perlu bersusah payah segitunya untuk mengulang materi di sekolah.
      Ganjalan paling berat di SDN Kakak Awal sekarang ini adalah presensi gurunya. Anak-anak dianggurin gitu, duh .. gimanaa gitu rasanya yak, mending di rumah aja deh. Kepengen saya kan, yaaa gak usah lah bagus bagus amat ngajarinnya, tapi ya minimal duduk di kelas gitu loh yang namanya guru. Peralatan lain yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan belajar mengajar, seperti telpon genggam untuk bertukar pesan dan sejenisnya ya mbok dimasukin ke tas dulu.

      Ah, dilema .. dilema …

      Yahh, gak bisa dibilang narasumber Miss, wong cuma ngebacain buku-buku sederhana yang ada di rumah kok. Tingkat isi ceritanya juga sebenernya tingkatan TK, yang gampang-gampang aja 😀

  11. khusnuldwityasari
    3 November 2013

    wah,,sekolah ya, jadi mulai mikir nih (padahal anak msh 15 bln) :D. gpp,nabung pemikiran dl. hehehe. kalau inget dulu, aku juga sekolah di SDN mak, di desa pula (di sidareja, kabupatennya cilacap, hampir berbatasan dengan jawa barat). Bahkan SMP pun masih di desa. tapi SMA hijrah ke solo, alasannya biar maju kata ibu dulu. ibu seorang guru yang selalu menanamkan anaknya harus lebih baik dari anak-anak di sekitar yang rata-rata ya agak kurang diperhatikan pendidikannya sama ortunya mak. Mungkin dl aku sampai merasa “dipaksa” belajar. Biar bisa sekolah di kota kata ibu waktu itu. Alhamdulillah berbuah hasil mak, aku bisa sekolah si SMAN 1 Solo (favorit juga kan, hehehe), trus nerusin di FK UNS, sekarang jadi ibu rumah tangga tp punya titel lah :D. Jadi kesimpulanku, tergantung orang tua juga ya mak, kalau bisa memantau perkembangan anaknya insyaAllah sekolah di manapun akan berbuah baik 🙂

    *maap komennya jadi panjang mak*

    • sellymeliana
      3 November 2013

      Iya sih mbak, setuju. Memang peran orangtua, terutama di awal-awal kehidupan anak, sangat berpengaruh besar.
      Seneng ya punya orang tua seorang guru 🙂

  12. Vera
    3 November 2013

    IIh suka banget bacanya, smg tetap sabar ya teh dgn SD Negeri. Tapi yakinlah walau di SD negeri kalau emang pintar inshaAllah pasti tetap bisa mengikuti pelajaran.

    • sellymeliana
      3 November 2013

      Iih makasih juga yaa udah mampir hehehe 🙂 🙂 Kirain Vera temen kuliah saya, ternyata saya liat alamat surelnya beda :D, salam kenal yaa ..
      Iyah, sekarang sih memang belom ada pilihan lain yang lebih baik, jadi ya pilihan yang kami ambil si SDN ini. Ke depannya tentu saja saya akan lebih banyak menggali dan menimbang mana yang lebih baik yang harus diambil, mana yang kurang baik yang harus dilepas, dst, dst. Ganbarimasu!

  13. diah
    3 November 2013

    Izin share di FB ya mba, tulisannya menarik sekali. Kalau di bandingkan memang jauh ya pola pendidikan dan penerapan pelajaran sekolah di Indonesia khususnya sekolah negeri. Tapi ini menjadi tantangan tersendiri bagi setiap orangtua, yang akhirnya harus selalu update dan mencari kegiatan lain untuk mengisi hari2 anak2 tercinta selain di sekolah.

    Terima kasih, slaam kenal yaaaa… 😉

    • sellymeliana
      3 November 2013

      Silakan, salam kenal. Saya senang juga kalau banyak yang share. Karena itu artinya makin banyak yang berkunjung kesini dan harapan saya bakal makin banyak yang memberi masukan (semoga) dan ehh .. siapa tauk aja ada yang jadi terinspirasi untuk menulis tentang sekolah anak-anaknya juga. Kita butuh banyak testimoni sekolah nih sebenernya.

  14. Esti Sulistyawan
    3 November 2013

    Salam kenal dari Semarang Mbak
    Mayoritas teman2 kantor menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah swasta Mbak
    Yah, dengan pertimbangan macam2 ya
    Semua adaplus minusnya, tinggal bagaimana ortu menyikapinya 🙂

    • sellymeliana
      3 November 2013

      Salam kenal mbak. Iyah, bener mbak semua ada plus minusnya, tiap orang dihadapkan pada kondisi yang berbeda.
      Kalo saya sih bukan kebanyakan lagi mbak, tapi SEMUA orang di lingkungan saya menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah swasta 😀
      Eh, ada deng yang ke SDN, tapi SDN “favorit” yang letaknya tidak dekat dari rumah.

  15. Aline
    3 November 2013

    Wah wah seru banget tulisannya, Mbak Selly, apik menggambarkan kondisi sekolah negeri kita. Yang kutemui di salah satu SDN di Sulawesi ngga jauh berbeda kondisinya, bedanya cuma saya yang jadi artis, bukan anak murid. hahaha

    Perlu lebih banyak orang tua peduli pendidikan macam Mbak Selly. Di SDN tersebut ada komite sekolah nggak, Mbak? Seharusnya ada, minimal ada namanya walaupun mungkin sembarang nama. hehe. Mungkin Mbak Selly bisa melibatkan diri juga di Komite Sekolah tersebut, sambil ngompor-ngomporin 1-2 orang tua lainnya untuk sama-sama bikin perbaikan untuk sekolah.

    And the storry telling part is an awesome initiative, I would say. 🙂 Mulai dari Awwal diminta presentasi, mungkin nanti gantian teman-teman Awwal yang dikasih kesempatan. Dari situ, mudah-mudahan wali kelas lebih percaya sama niat baik Mbak Selly, dan jadi inspirasinya dalam mengajar.

    Kalau kepala sekolah, memang perlu pelan-pelan ya, hehe mungkin kuatir bakal berkurang jatahnya kalau dana BOS dipakai untuk membayar pustakawan.. atau dilaporin ke dinas kalau ketauan buruk-buruknya. Mulai PDKTnya dari murid-murid, guru, dan orang tua murid dulu aja. 🙂

    Tetap semangat jadi ibu rumah tangga full time, ya, Mbak! Nggak banyak perempuan berpendidikan yang berani dan punya pilihan untuk ambil tanggung jawab itu. 🙂 Insya Allah, Awwal jadi Orang Besar lewat Bundanya!

    • sellymeliana
      4 November 2013

      Hehehe, jangan terlalu memuji Lin, nanti nyesel loh :p :p dan khawatir niat saya agak bergeser nanti nih. Tapi saya anggap aja sebagai do’a deh, terutama kalimat yang terakhir 🙂
      Tarik nafas dulu ahh … hembuskaann … 😀 :p
      Cuma mao ngomentarin yang kepala sekolah, saya belom nawarin kok Lin kalo ke beliau sih, abis udah gitu duluan, jadi bingung mao nawarinnya juga, wkwkwk. Tapi saya jadi baru kepikiran sih, bisa jadi ada kekhawatiran seperti itu ya? Berarti sejak awal saya harus pertegas kalau niatnya volunteer gitu kali yak, mungkin jadi berubah pikiran 😀

  16. Dina Faoziah
    4 November 2013

    Wah, tengkyu ceritanya yg asyik, Sel. Aku gak ikutan nulis komentar ttg kondisi sekolah di Indonesia, ya *kikikik*

    Gak kangen momiji, Sel?

    Pengen main2 ke Bandung taun depan euy. Ada elo, ada Pipiet…

    Btw sebenernya kalo termasuk org yg berpunya di Jepang, mau sekolah di mana itu juga termasuk pilihan berat, loh. Misalnya, sejak awal milih nyekolahin di sekolah swasta yg ntar tinggal naik2 aja tanpa pusying ujian masuk meskipun mahal 😛

    Ada juga yg sempet mikirin Tokyo Community School kayak aku dulu.

    Sekarang sama aja sih, milih SDN, hahaha… Yg penting deket rumah *kikikik*

    Eh, jadi komen yak?

    • sellymeliana
      4 November 2013

      Ah, Dina, jangan ingatkan saya soal momiji :p :p
      Ayo ayo, tapi mpet-mpet-an gak papa toh? Rumah saya disini sama persis ukurannya dengan waktu di Tokyo 😀
      Wah, mungkin juga ya .. untung dulu waktu di Tokyo pas-pasan yak :p
      Tapi Din, setidaknya SDNnya standar gitu loh :))))

  17. Indah
    7 November 2013

    Mbak, ijin share ya… Ga sengaja mampir di blog mbak… Saya senasib dalam arti kata baru balik lagi ke tanah air, dan menyekolahkan anak (kembali) di indonesia hehehe… Saya tau banyak keluarga lain yg kebetulan senasib pasti tulisan mbak ini menambah wawasan kita.

  18. Aryani
    8 November 2013

    Salam kenal mbak..
    Saya lulusan salah satu SDN di Bandung 1986-1992.
    Alhamdulillah kayaknya jaman dulu mutu SDN gak kalah deh ama swasta. Jarang banget guru absen kecuali ada rapat ama penilik (haissshhh), tapi muridnya dikasih tugas dan besokannya tugas itu dibahas. Trus guru-guru saya juga rajin bikin jam ekstra belajar saat saya kelas 6. Biayanya gratis, gak tau dapet subsidi dari mana tapi emang gak bayar. Yang memotivasi guru-guru itu adalah kehadiran murid-muridnya. Mereka seneng banget kalo yg hadir di jam ekstra banyak. Oh ya, jam ekstra ini bukan paksaan. Ada juga guru yang ngadain les di rumahnya, bayar. Tapi ya bukan paksaan juga dan gak jadi diskriminasi ke anak lain yg gak ikut les.
    Saat jam istirahat, selain permainan ala anak kampung jaman dulu (lompat tali, gobak sodor, petak umpet, ucing-ucingan), saya & temen-temen sering banget ngadain cerdas cermat kecil-kecilan. Semacam prestige gitu deh kalo kita sering dapet skor tertinggi saat cerdas cermat. Yang bikin soalnya temen-temen sendiri, saat itu model buku RPUL/RPAL, yg jadi juri ngambil bahannya dari buku ini. Lingkungan sekolah nyampur, dari kalangan bawah sampe menengah ke atas. Dari anak tukang loak sampe anak pejabat.
    Duuuuh maaf jadi kepanjangan.
    Intinya cuma mau sharing aja masa-masa indah jaman SD dulu 🙂

    • sellymeliana
      26 Januari 2015

      Alhamdulillah, beruntung sekali bisa dapat guru yang berdedikasi.

  19. ira
    17 Februari 2014

    Assalammualaikum, salam kenal.. ga sengaja saya baca artikel ini pada saat saya riweuh browsing sana sini cari info sekolah, di lihat dari foto2 nya kayaknya kompleknya daerah padalarag ya.. klo betul brarti kita tetanggaan bu hehehehe.. setelah baca tulisannya d atas jd memberikan inspirasi buat pilih sekolah

  20. Helmi
    1 April 2014

    Tulisan yang inspiratif !

  21. Edi Kardian
    10 Juli 2014

    alhamdulillah, lagi bingung nentuin antara sd swasta sama negeri, dapat pencerahan…terimakasih

    • sellymeliana
      6 September 2014

      Alhamdulillah kalau tulisannya ada gunanya.
      Terima kasih kembali 🙂

  22. dewi
    7 Januari 2015

    Alhamdulillah nemu tulisan m’selly..salam kenal y mbak…bner mbak jarang2 ad yg bikin tulisan ttg SDN..pdhal qt ini emak2 muda ini..ehhmm..terlbih yg gi galau cr sekolah utk ankny butuh referensi bnyk..

    Terimakash banyaaakkkk…sebanyak2nya..

    • sellymeliana
      26 Januari 2015

      Alhamdulillah kalau ada yang bisa diambil manfaatnya (ehm).
      Terima kasih kembali 🙂 🙂

  23. restu dewi
    27 Mei 2017

    Salam kenal mba Selly, saya terdampar di sini karena ingin mencari tulisan tentang anak yg sekolah di SDN.. (seperti biasa, galau mencari sekolah), dan sedihnya kok sedikit sekali ya para ortu yg menuliskan pengalamannya sekolah di SDN dengan pertimbangan objektif.. kebanyakan di ranah maya SDN itu seperti apa yah.. jelek lah, pokoknya..

    membaca tulisan ini, dan dengan kondisi Indonesia, Jakarta terutama.. entah bagaimana hati kecil saya kok memutuskan ingin mencoba menyekolahkan anak saya satu2nya di SDN.. apalagi membaca tulisan mba Selly, inspiratif sekali..

    terima kasih banyak ya mba

  24. Nadiya
    18 Desember 2018

    Keberagaman dan berempati.. bener , itu yg ga bisa di dapat di sekolah swasta elit

Tinggalkan Balasan ke sellymeliana Batalkan balasan

Information

This entry was posted on 2 November 2013 by in Episode, Review, Yuk, berbagi! and tagged .

Mesin Waktu